Upaya
Dalam Mengatasi Minimnya Budaya Literasi Masyarakat
UNESCO menetapkan
tanggal 8 September sebagai Hari Literasi Internasional (International Literacy Day) pada tanggal 8 September 1964. Hari Literasi ini
ditetapkan untuk mengingatkan dunia betapa pentingnya budaya literasi
(baca-tulis).Namun tidak banyak masyarakat yang mengetahui peringatan itu dan
jarang ada masyarakat yang secara antusias menyambutnya.
Literasi merupakan
wahyu yang akan selalu relevan untuk manusia sampai kapan pun. Itu berarti bahwa
literasi (atau membaca dalam hal ini) adalah yang utama.Membaca tidak identik
dengan profesi tertentu.Membaca bukan hanya kewajiban dosen dan mahasiswa, tapi
membaca merupakan kewajiban bersama.Caranya adalah dengan pembiasaan. Biasakan
dan budayakan membaca sejak kecil,dimulai dari masa anak-anak untuk mencintai
buku sejak dini, sehingga dalam hatinya akan tumbuh perasaan menyukai membaca
dan terbentuk kebiasaan positif tentunya membangun kecerdasan.
Salah satu
terobosan yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah lemahnya literasi
bangsa adalah dengan menerbitkan
Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015
Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud itu diwujudkan dengan wajib
membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai, khususnya bagi siswa SD,
SMP atau SMA yang disebut Gerakan Literasi Sekolah.
Adapun Gerakan
Literasi Sekolah yang di kembangkan oleh Kementrian Penddikan dan Kebudayaan
Indonesia ini merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif
dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga
kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta
didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang
dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku
kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan Literasi
Sekolah digagas untuk meningkatkan keterampilan membaca yang menjadi
tuntutan pada abad 21 untuk mampu memahami informasi secara analitis, kritis
dan reflektif. Sayangnya, pembelajaran di sekolah belum mampu mengajarkan
kompetensi abad 21. Hasil survei internasional PISA (Programme for
International Student Assessment) yang mengukur keterampilan membaca peserta
didik menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat bawah, yaitu pada
peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA 2012. Hal ini
menunjukkan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum
memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan
semua warganya menjadi terampil membaca.
Berbagai upaya
tersebut dalam meningkatkan budaya literasi bangsa harusnya didukung oleh semua
pihak. Implementasi upaya yang relevan dengan perkembangan zaman akan banyak
membantu Indonesia untuk lebih baik. Harapan bangsa untuk generasi muda begitu
banyak, sehingga bangsa kita perlu berinvestasi, untuk melahirkan generasi yang
intelek, berwawasan luas, berkualitas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran
dalam undang-undang.
Karlina Supelli dalam pidato kebudayaannya berjudul
“Kebudayaan dan Kegagapan Kita” pada 11 November 2013 di Taman Ismail Marzuki
menyampaikan pesan, “kita perlu melatih diri kita untuk menyelami kedalaman pengetahuan
dan keluar dari zona nyaman dan instan. Kita perlu membiasakan diri membaca
segala sesuatu secara utuh agar lemahnya tradisi literasi yang menjangkiti
bangsa ini teratasi”.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar