Kamis, 29 Desember 2016

Upaya Mengatasi Minimnya Budaya Literasi

Upaya Dalam Mengatasi Minimnya Budaya Literasi Masyarakat

UNESCO menetapkan tanggal 8 September sebagai Hari Literasi Internasional (International Literacy Day) pada tanggal  8 September 1964. Hari Literasi ini ditetapkan untuk mengingatkan dunia betapa pentingnya budaya literasi (baca-tulis).Namun tidak banyak masyarakat yang mengetahui peringatan itu dan jarang ada masyarakat yang secara antusias menyambutnya.
Literasi merupakan wahyu yang akan selalu relevan untuk manusia sampai kapan pun. Itu berarti bahwa literasi (atau membaca dalam hal ini) adalah yang utama.Membaca tidak identik dengan profesi tertentu.Membaca bukan hanya kewajiban dosen dan mahasiswa, tapi membaca merupakan kewajiban bersama.Caranya adalah dengan pembiasaan. Biasakan dan budayakan membaca sejak kecil,dimulai dari masa anak-anak untuk mencintai buku sejak dini, sehingga dalam hatinya akan tumbuh perasaan menyukai membaca dan terbentuk kebiasaan positif tentunya membangun kecerdasan.
Salah satu terobosan yang dilakukan pemerintah dalam mengatasi masalah lemahnya literasi bangsa  adalah dengan menerbitkan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 Tahun 2015 Tentang Penumbuhan Budi Pekerti. Permendikbud itu diwujudkan dengan wajib membaca 15 menit sebelum waktu pembelajaran dimulai, khususnya bagi siswa SD, SMP atau SMA yang disebut Gerakan Literasi Sekolah.
Adapun Gerakan Literasi Sekolah yang di kembangkan oleh Kementrian Penddikan dan Kebudayaan Indonesia ini merupakan suatu usaha atau kegiatan yang bersifat partisipatif dengan melibatkan warga sekolah (peserta didik, guru, kepala sekolah, tenaga kependidikan, pengawas sekolah, Komite Sekolah, orang tua/wali murid peserta didik), akademisi, penerbit, media massa, masyarakat (tokoh masyarakat yang dapat merepresentasikan keteladanan, dunia usaha, dll.), dan pemangku kepentingan di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan Menengah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Gerakan Literasi Sekolah  digagas untuk meningkatkan keterampilan membaca yang menjadi tuntutan pada abad 21 untuk mampu memahami informasi secara analitis, kritis dan reflektif. Sayangnya, pembelajaran di sekolah belum mampu mengajarkan kompetensi abad 21.  Hasil survei internasional  PISA (Programme for International Student Assessment) yang mengukur keterampilan membaca peserta didik menunjukkan bahwa Indonesia menduduki peringkat bawah, yaitu pada peringkat 64 dari 65 negara yang berpartisipasi dalam PISA 2012.  Hal ini menunjukkan bahwa praktik pendidikan yang dilaksanakan di sekolah belum memperlihatkan fungsi sekolah sebagai organisasi pembelajaran yang menjadikan semua warganya menjadi terampil membaca.
Berbagai upaya tersebut dalam meningkatkan budaya literasi bangsa harusnya didukung oleh semua pihak. Implementasi upaya yang relevan dengan perkembangan zaman akan banyak membantu Indonesia untuk lebih baik. Harapan bangsa untuk generasi muda begitu banyak, sehingga bangsa kita perlu berinvestasi, untuk melahirkan generasi yang intelek, berwawasan luas, berkualitas dan sesuai dengan tujuan pembelajaran dalam undang-undang.
Karlina Supelli dalam pidato kebudayaannya berjudul “Kebudayaan dan Kegagapan Kita” pada 11 November 2013 di Taman Ismail Marzuki menyampaikan pesan, “kita perlu melatih diri kita untuk menyelami kedalaman pengetahuan dan keluar dari zona nyaman dan instan. Kita perlu membiasakan diri membaca segala sesuatu secara utuh agar lemahnya tradisi literasi yang menjangkiti bangsa ini teratasi”.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar