Kriteria
Ghibah
1.
Menggambarkan keburukan
bentuk tubuh seseorang
Suatu
hari Aisyah radhiyallahu’anha
pernah berkata kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam tentang Shafiyyah bahwa dia adalah wanita yang pendek.
Maka beliau Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Sungguh engkau telah berkata dengan suatu
kalimat yang kalau seandainya dicampur dengan air laut niscaya akan merubah air
laut itu.” (H.R. Abu Dawud 4875 dan lainnya)
Asy Syaikh Salim bin Ied Al Hilali berkata: “Dapat
merubah rasa dan aroma air laut, disebabkan betapa busuk dan kotornya perbutan ghibah. Hal ini menunjukkan suatu peringatan keras dari
perbuatan tersebut.” (Lihat Bahjatun Nazhirin Syarah Riyadhush Shalihin 3/25)
2.
Membicarakan keburukan orang lain
Dari
shahabat Anas bin Malik radhiyallahu’anhu,
bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda: “Ketika aku mi’raj (naik di langit), aku
melewati suatu kaum yang kuku-kukunya dari tembaga dalam keadaan mencakar
wajah-wajah dan dada-dadanya. Lalu aku bertanya: “Siapakah mereka itu wahai malaikat Jibril?” Malaikat
Jibril menjawab: “Mereka adalah orang-orang yang memakan daging-daging manusia
dan merusak kehormatannya.” (H.R. Abu Dawud no. 4878 dan lainnya). Yang
dimaksud dengan ‘memakan daging-daging manusia’ dalam hadits ini adalah berbuat
ghibah (menggunjing), sebagaimana permisalan pada
surat Al Hujurat ayat: 12.
Dari shahabat Ibnu Umar radhiyallahu’anhu, bahwa beliau Shallallahu’alaihi wasallam
bersabda: “Wahai sekalian orang yang beriman dengan lisannya yang belum sampai
ke dalam hatinya, janganlah kalian mengganggu kaum muslimin, janganlah kalian
menjelek-jelekkannya, janganlah kalian mencari-cari aibnya. Barang siapa yang
mencari-cari aib saudaranya sesama muslim niscaya Allah akan mencari aibnya.
Barang siapa yang Allah mencari aibnya niscaya Allah akan menyingkapnya
walaupun di dalam rumahnya.” (H.R. At Tirmidzi dan lainnya)
Dari
shahabat Jabir bin Abdillah radhiyallahu
‘anhu, beliau berkata: “Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah
Shallallahu’alaihi
wasallam mencium bau bangkai yang busuk. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam
berkata: ‘Apakah kalian tahu bau apa ini? (Ketahuilah) bau busuk ini berasal
dari orang-orang yang berbuat ghibah.” (H.R. Ahmad
3/351)
Dari shahabat Sa’id bin Zaid radhiyallahu ‘anhu
sesungguhnya Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
“Sesungguhnya
termasuk riba yang paling besar (dalam riwayat lain: termasuk dari sebesar
besarnya dosa besar) adalah memperpanjang dalam membeberkan aib saudaranya
muslim tanpa alasan yang benar.” (H.R. Abu Dawud no. 4866-4967)
Dari ancaman yang terkandung dalam ayat dan
hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa perbuatan ghibah
ini termasuk perbuatan dosa besar, yang seharusnya setiap muslim untuk selalu
berusaha menghindar dan menjauh dari perbuatan tersebut.
Asy Syaikh Al Qahthani dalam kitab Nuniyyah hal. 39
berkata:
Janganlah kamu tersibukkan dengan aib orang lain,
justru kamu lalai
Dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban
(Lihat Nashihati linnisaa’ hal. 32)
Dengan aib yang ada pada dirimu, sesungguhnya itu dua keaiban
(Lihat Nashihati linnisaa’ hal. 32)
3.
Membicarakan sesuatu yang tidak disukai saudaranya
Konteks
dalam hadits: “Engkau menyebutkan sesuatu pada saudaramu yang dia membecinya.”
Hadits di tersebut secara zhahir mengandung makna yang umum, yaitu mencakup
penyebutan aib dihadapan orang tersebut atau diluar sepengetahuannya. Namun Al
Hafizh Ibnu Hajar menguatkan bahwa ghibah ini khusus di luar sepengetahuannya,
sebagaimana asal kata ghibah (yaitu dari kata ghaib
yang artinya tersembunyi-pent) yang ditegaskan oleh ahli bahasa. Kemudia Al
Hafizh berkata: “Tentunya membeberkan aib di hadapannya itu merupakan perbuatan
yang haram, tapi hal itu termasuk perbuatan mencela dan menghina.” (Fathul Bari
10/470 dan Subulus Salam hadits no. 1583, lihat Nashihati linnisaa’ hal. 29)
4.
Mendengar pembicaraan ghibah tapi tidak melarangnya
Demikian
pula bagi siapa yang mendengar dan ridha dengan perbuatan ghibah
maka hal tersebut juga dilarang. Semestinya dia tidak ridha melihat saudaranya
dibeberkan aibnya. Dari shahabat Abu Dzar radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
“Barang siapa yang mencegah terbukanya aib saudaranya
niscaya Allah akan mencegah wajahnya dari api neraka pada hari kiamat nanti.”
(H.R. At Tirmidzi no. 1931 dan lainnya)
Demikian juga semestinya ia tidak ridha melihat
saudaranya terjatuh dalam kemaksiatan yaitu berbuat ghibah.
Semestinya ia menasehatinya, bukan justru ikut larut dalam perbuatan tersebut.
Kalau sekiranya ia tidak mampu menasehati atau mencegahnya dengan cara yang
baik, maka hendaknya ia pergi dan menghindar darinya. Allah Subhanahu wa Ta’ala
berfirman (artinya):
“Dan orang-orang
yang beriman itu bila¬ mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka
berpaling darinya, dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu
amal-amalmu, semoga kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan
orang-orang jahil.” (Al Qashash: 55)
Dari
shahabat Abu Sa’id Al Khudri radhiyallahu
‘anhu, bahwa Rasulullah Shallallahu’alaihi
wasallam bersabda:
“Barang siapa yang melihat kemungkaran hendaknya dia
mengingkarinya dengan tangan. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan
lisannya. Bila ia tidak mampu maka cegahlah dengan hatinya, yang demikian ini
selemah-lemahnya iman.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Namun bila ia ikut larut dalam perbuatan ghibah ini berarti ia pun ridha terhadap kemaksiatan,
tentunya hal ini pun dilarang dalam agama.
Bertaubat dari
Ghibah
Lalu bagaimana cara bertaubat dari
perbuatan ghibah? Apakah wajib baginya untuk memberi tahu kepada yang
dighibahi? Sebagian para ulama’ berpendapat wajib baginya untuk memberi tahu
kepadanya dan meminta ma’af darinya. Pendapat ini ada sisi benarnya jika dikaitkan dengan hak seorang manusia.
Misalnya mengambil harta orang lain tanpa alasan yang benar maka dia pun wajib
mengembalikannya.
Tetapi dari sisi lain, justru bila ia memberi tahu kepada
yang dighibahi dikhawatirkan akan terjadi mudharat yang lebih besar. Bisa jadi
orang yang dighibahi itu justru marah yang bisa meruncing pada percekcokan dan
bahkan perkelahian. Oleh karena itu sebagian para ulama lainnya berpendapat
tidak perlu ia memberi tahukan kepada yang dighibahi
tapi wajib baginya beristighfar (memohan ampunan) kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala
dan menyebutkan kebaikan-kebaikan orang yang dighibahi itu di tempat-tempat
yang pernah ia berbuat ghibah kepadanya. Insyaallah
pendapat terakhir lebih mendekati kebenaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar