Masa Sebelum Islam
Masa Jahiliyah adalah era ketika kondisi
dan situasi masyarakat belum terjamah oleh risalah dan dakwah Islam. Periode
ini sering juga disebut dengan istilah Pra-Islam. Seiring dengan perkembangan
dan akulturasi bahasa, istilah ini juga melekat erat pada sifat orang-orang
yang tidak taat pada aturan agama yang telah diproyeksikan oleh Al-Qur’an dan
As-Sunnah.
Kebiasaan-kebiasaan kaum jahiliyah yang
realitasnya berseberangan dengan anjuran Rasulullah s.a.w tersebut disebabkan
oleh sifat keras kepala, apriori dan ta’assub (fanatik yang berlebihan)
terhadap peninggalan dan tradisi para leluhur yang mengental rekat dalam ritual
yang selalu disakralkan.
Seperti kebiasaan dahulu orang-orang
jahiliyah yang mengitari ka’bah dengan bertelanjang tanpa busana, akhirnya
terwarisi dengan kebiasaan generasi berikutnya yang tidak malu mempertontonkan
auratnya di depan publik, sehingga hal seperti itu dianggap lumrah bahkan
dianggap sebagai modernisasi.
Syeikh Muhammad ibn Abdul Wahab dalam
Masail Al-Jahiliyyah mengatakan, bahwa agama mereka (orang-orang jahiliyah)
terbangun oleh beberapa pondasi yang menjadi akar dan pijakan. Yang terbesar
diantaranya ialah “TAQLID”, yaitu sebuah sistim yang besar yang selalu menjadi
tumpuan semua orang-orang kafir, sedari dahulu kala hingga akhir zaman.
Sebagaimana Allah SWT berfirman di berbagai ayat di dalam Al-Qur’an:
“Wa kadzaalika maa arsalna min qablika
fi qaryatin min nadziirin illaa qaala mutrafuuha innaa wajadnaa aabaa-ana ‘ala
ummatin wa innaa ‘ala aatsaarihim muqtaduun”;
“Dan demikianlah, Kami tidak mengutus
sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan
orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: “Sesungguhnya kami
mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesunguhnya kami adalah
pengikut jejak-jejak mereka”(QS.Az-Zukhruf:23).
“Wa idzaa qiila lahumuttabi’uu maa
anzalallahu, qaaluu bal nattabi’u maa wajadnaa ‘alaihi aabaa’ana, awalaw
kaanasy-syaythaanu yad’uuhum ilaa ‘adzaabis-sa’iir”;
“Dan apabila dikatakan kepada mereka:
“Ikutilah apa yang diturunkan Allah”. Mereka menjawab: “(Tidak), tapi kami
(hanya) mengikuti apa yang kami dapat dari bapak-bapak kami mengerjakannya.”
Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaithan itu
menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala (neraka)?(QS.Luqman:21).
“Ittabi’uu maa unzila ilaikum min
rabbikum walaa tattabi’uu min duunihi awliyaa’a. Qaliilan maa tadzakkaruun”:
“Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu
dari Tuhanmu, dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainnya
(pemimpin yang membawa kepada kesesatan). Amat sedikitlah kamu mengambil
pelajaran (dari padanya)” (QS.Al-A’raf:3).
Syeikh DR.Shalih ibn Fauzan ibn Abdillah
Al-Fauzan dalam Syarhul Masaa’il Al-Jahiliyyah menjelaskan bahwa mereka (orang-orang
jahiliyah) tidak menegakkan agama mereka sesuai dengan apa yang telah para
Rasul sampaikan kepada mereka, sesunguhnya mereka mengkonstruksi agama mereka
dengan dasar-dasar yang mereka mengada-adakannya sendiri sekehendak hati
mereka, dan mereka enggan merobah diri serta beranjak dari kebiasaan itu.
Perihal inilah yang dalam dunia Islam disebut sebagai “at-taqlid”, atau dalam
istilah Arab juga akrab dengan sebutan “al-muhakah”, yaitu sebagian orang
meniru cara-cara yang kelompok individu lain lakukan, sedangkan objek yang
ditiru itu tidak sepatutnya untuk menjadi percontohan (maslahat). Sebagaimana
Allah SWT berfirman:
“Wakadzalika maa arsalna min qablika fi
qaryatin min nadziirin illaa mutrafuuha inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin,
wa innaa ‘alaa aatsaarihim muqtaduun”; Kata “mutrafuuha” dalam ayat ini adalah
“mereka (para penduduk) yang hidup mewah sejahtera dan bergelimang harta pada
umumnya, karena mereka adalah orang-orang yang cenderung berbuat jahat,
sombong, dan tiada keinginan menerima kebenaran. Berbeda halnya dengan kaum
faqir dan dhuafa, yang pada umumnya bersikap tawadhu’ dan ikhlas menerima
kebenaran.
Kaum yang mengagung-agungkan harta,
tahta dan garis keturunan leluhurnya inilah, yang dahulu ketika para Rasul
memberi peringatan dan mengajak mereka kepada jalan yang benar, mereka selalu
membantah dengan ucapan” “Inna wajadnaa aabaa-ana ‘ala ummatin, wa innaa ‘alaa
aatsaarihim muqtaduun”; “Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut
suatu agama dan sesungguhnya kami adalah penganut jejak-jejak mereka.” Dengan
kata lain (secara tidak langsung) mereka bermaksud: Kami tidak butuh peran dan
kehadiranmu wahai Rasul, kami lebih percaya dengan apa yang telah dibudayakan
oleh leluhur kami. Hal inilah yang di dalam literatur Islam disebut dengan
istilah “at-taqlid al-a’maa” atau dalam istilah kita: “fanatisme buta” (blind
obedience), yang tergolong dalam salah satu perangai kaum jahiliyah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar